Keutamaan bulan Ramadhan menjadi awal perubahan untuk menjadi lebih baik, bulan untuk memperbaiki diri, bulan di mana amalan dillipatgandakan, dosa-dosa diampunkan bagi yang meminta ampunan merupakan ni’mat yang luar biasa yang diberikan Allah bagi hamba-Nya. Tak terbayang bagi kita jika dalam setahun tidak ada bulan Ramadhan. Tak ada momen untuk meningkatkan ibadah, manusia akan asik dengan aktifitas nya sehari-hari, tak akan dilihat umat Islam berbondong-bondong ke masjid pada malam hari untuk melaksanakan shalat sunnah Tarawih serta aktifitas ibadah lainnya yang dilakukan di bulan Ramadhan.

Ada beberapa pelajaran penting yang perlu digaris bawahi dari nilai ibadah puasa yang telah kita lakukan selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan dengan memasuki hari Raya Ied al-Fitri, Allah ingin memberikan pesan kepada para hamba-hamba-Nya melalui perantara Rasulullah

 

  1. Mengagungkan Nama Allah

Ibadah puasa yang kita lakukan memiliki nilai penting yang ingin Allah sampaikan kepada umat manusia yang telah menjalankan ibadah puasa hingga akhir, dan dijalankan pada saat kita sampai pada hari Ied al-Fitri ini. Allah memberikan penjelasan dalam al-Qur’an

رِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.................................

.........................Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(QS. Al-Baqarah: 185)

 

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menyempurnakan jumlah bilangan puasa kita. Setelah menyempurnakannya, maka perintah selanjutnya adalah li tukabbiru Allah, yaitu agungkanlah nama Allah, dengan banyak mengingat-Nya, berzikir. Karena keberhasilan kita dalam menjalankan ibadah puasa secara penuh adalah semakin bertambah ketaatan kita kepada perintah Allah. Para ulama pernah mengungkapkan

ليس العيد من لباسه الجديد , ولكن العيد من طاعته يزيد     

Maka nya ketika memasuki hari raya Ied al-Fitri maupun Ied al-Adha kita diperintahkan untuk banyak mengagungkan Allah, dengan membaca takbir hingga selesai shalat hari raya untuk Ied al-Fitri dan selesai hari tasyriq pada Ied al-Adha. Dengan mengagungkan Allah Swt, kita akan sadar bahwa kita adalah makhluk yang kecil. Sebagai makhluk ciptaan-Nya sudah sepantasnya kita menjalankan perintah dan mejauhi segala larangan-Nya.  

 

  1. Puasa Mengendalikan Hawa nafsu Manusia

Keinganan yang berlebihan pada sesuatu yang sebenarnya sedang tidak menjadi kebutuhannya adalah permainan hawa nafsu pada diri manusia. Makna dari puasa adalah al-imsak (menahan), menahan di sini bukan untuk menahan bahkan mematikan hawa nafsu, akan tetapi dengan mengendalikan hawa nafsu agar ia tersalurkan sesuai pada tempatnya. Dalam hadis disebutkan bahwa manusia memiliki nafsu yang kuat melebihi srigala yang kelaparan terhadap harta dan jabatan.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما ذئبان جائعان أرسل فى غنم بأفسد لها من حرص المرء على المال و الشرف لدينه (رواه الإمام الترميذي)

Tidaklah dua ekor srigala yang lapar diberikan padanya seekor kambingitu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya. (HR.Imam Tirmidzi).

Selain dari itu puasa juga berupaya membentuk manusia bertaqwa agar menahan diri dari nafsu syahwat, nafsu amarah, menahan dari ucapan yang tidak berguna apalagi sampai menyakiti pendengarnya, menahan diri dari pandangan dari kemaksiatan, menahan diri dari hal yang bersifat provokatif, gosip, hoax (berita bohong), menahan diri dari prasangka hati dengan curiga (syu’udzan). Pribadi yang dapat mengenadalikannya adalah pribadi yang baik hubungannya dengan Allah Swt maupun sesama makhluk. Orang yang mampu berbuat demikian mereka yang hatinya selalu dibasahi dengan zikir kepada Allah, Shalawat kepada Rasulullah karena dapat mengaplikasikan nilai-nilai ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana prilaku yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.       

             Maka dari itu, pembentukan pribadi muslim yang bertaqwa melalui pendidikan Ramadhan menjadi sesuatu yang niscaya, taqwa yang menyebabkan orang kaya tidak menjadi  sombong, tidak menjadikan orang miskin dan terbatas menjadi tamak dengan adanya kesempatan, ketika menjadi orang yang pandai menjadikannya orang yang dapat dibanggakan di masyarakat, ketika menjadi penguasa tidak menyebabkannya dzalim terhadap orang lain dan ketika menjadi masyarakat biasa melibatkan diri untuk membangun kebersamaan dalam menggapai ridho Allah. Sifat tersebut akan mengindarkan diri kita dari nilai puasa yang disebutkan oleh Rasulullah dalam hadisnya,

 

Betapa banyak mereka yang berpuasa tanpa medapatkan apapun dari ibadah puasanya kecuali hanya rasa lapar dan haus” (HR. Imam Bukhari)

  

  1. Puasa menjadikan Pakaian Rohani

Setiap manusia diwajibkan untuk menutup auratnya. perintah tersebut supaya manusia dapat menjaga kehormatan dirinya. Secara zahir, Allah berfirman dalam

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31).

Makna dari memakai pagaian yang indah adalah perintah menutup aurat ketika akan melaksanakan ibadah di masjid. Dan artinya standart aurat yang ada pada di luar ibadah juga harus ditutup. Fungsi puasa sebagai libas (pakaian), untuk menutupi keburukan yang ada pada diri kita. Keburukan yang ada pada diri kita yang bersifat perbuatan dapat ditutupi dengan pakaian kebaikan. Menghiasi perbuatan dengan sikap kejujuran, kesabaran, keramahan, tolong menolong dalam kebaikan serta saling memberikan keselamatan sesama muslim

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

Seorang muslim itu yang memberikan keselamatan kepada orang muslim lainnya melalui tangan dan lidahnya.

Puasa menjadikannya sebagai pakaian untuk kita. Pakaian di sini adalah pakaian rohani untuk menutupi keburukan kita dengan prilaku kebaikan dengan kejujuran, keramahan, kesantunan, saling menyayangi dan menghormati, dan yang paling utama adalah bagaimana memperbaiki hubungan kita dengan Allah dengan pakaian ketaqwaan. Allah berfirman  

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raf: 26).

Selama sebulan puasa membuat pakaian taqwa bagi yang menjalankannya, Sifat kebaikan menjadi buahnya, memperoleh sifat dan akhlak mulia untuk menutupi kuburukan yang ada pada dirinya. Maka, hikmah dari orang puasa akan menutup keburukannya dengan aklak terpuji hingga bertemu lagi pada Ramadhan berikutnya dan memberikan kebaikan pada dirinya serta kebaikan pada orang lain.

 

  1. Menyambung tali Silaturrahim

Hikmah setelah selesai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yaitu menyambut Ied al-Fitri dengan silaturrahim. Silaturrahim dan silaturrahmi memiliki substansi makna yang sama. Rahim artinya kandungan, rahmi artinya rahmat (Allah). Silaturrahim maksudnya menjalin hubungan atau komunikasi yang telah terputus, lama tak bersapa. Menyambung silaturrahim dihukumi wajib dan sebaiknya menjalin hubungan kepada keluarga terdekat kita terlebih dahulu. Jika hubungan yang dekat sudah baik, keluarga dekat, tetangga dekat, maka akan berimbas pada baik pula pada hubungan yang jauh.

Terdapat larangan bagi yang emutus silaturrahim, Rasulullah bersabda,

لا يدخل الجنة قاطع الرحم (الحديث رواه الإمام مسلم)

Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturrahim. (HR. Imam Muslim)

Sedangkan dalam hadis Qudsi, Allah menyampaikan melalui Rasulullah, bahwa menjalin silaturrahim adalah menjalin hubungan dengan Allah dan sebaliknya,

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إن الرحم شجنة من الرحمن فقال الله من وصلك وصلته ومن قطعك قطعته

Dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw, beliau bersabda: Sesungguhnya penamaan rahim, diambil dari kata  Rahman (nama Allah), Allah berfirman: barangsiapa menyambungmu maka aku akan menyambungnya dan barangsiapa memutusmu akau akan memutusnya (HR. Imam Bukhari).

Mungkin ada di antara kita dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakat terdapat sekat untuk menjalin hubungan kembali dikarenakan adanya perbedaan pendapat, perbedaan mazhab, perbedaan pandangan politik bahwasanya itu merupakan hal yang lumrah, di mana hal itu tidak bisa kita paksakan selama masing-masing punya dalail dan tidak bertentangan dengan keyakinan beragama.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan hamba-Nya yang bertaqwa. Menerapkan nilai-nilai prilaku Ramadhan pada kehidupan setelah Ramadhan.

Pengajian Rasulullah SAW di masjid tidak hanya dihadiri oleh sahabat kaum laki-laki, melainkan juga dihadiri oleh sahabat dari kaum wanita. Mereka ikut serta mendengarkan hadis-hadis yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, serta mengahadiri perayaan besar seperti shalat ‘Ied. Di antara mereka keluar dari rumahnya, berjalan menuju masjid demi mendengarkan nasihat yang disampaikan Nabi SAW.

Penyampaian hadis yang dilakukan oleh Nabi SAW setelah di hadapan para kaum laki-laki, Nabi berpindah ke jamaah kaum wanita, serta menyampaikan hadis kepada mereka diiringi pengajaran dan nasehat. Tak bisa dipungkiri bahwa pengajian Rasulullah SAW mayoritas dihadiri oleh kaum laki-laki. Karena itulah, ada di antara salah satu sahabat wanita memberanikan diri untuk menyampaikan permintaan kepada Nabi SAW agar menyediakan satu hari khusus menyampaikan hadis kepada mereka dan Nabi pun mengabulkannya.

Permasalahan yang disampaikan oleh Nabi SAW di dalam pengajian bersama kaum wanita tidak hanya membahas persoalan keagamaan saja, akan tetapi juga menginjak ke perkara kehidupan lainnya. Terlebih lagi rata-rata dari mereka baru saja masuk Islam. saat mereka bertanya urusan agama mereka tidak malu, bahkan perkara yang ditanyakan di luar perkara agama. Karena pada prinsipnya mereka paham bahwa dalam belajar tidak perlu malu untuk bertanya. Kebiasaan yang mereka ungkapkan saat ingin bertanya kepada Rasulullah didahului dengan ungkapan “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mengenai suatu kebenaran”, baru kemudian mereka melanjutkan dengan hajat pertanyaannya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada kitab Sahihnya dikisahkan, “Apakah seorang wanita harus mandi besar jika ia bermimpi”. Keberanian seperti ini banyak dilakukan oleh para wanita Anshar, sehingga Aisyah r.a, memujinya dengan mengatakan “Sebaik-baik perempuan adalah kaum Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama”. Sedangkan di antara mereka yang malu bertanya secara langsung, maka mereka bertanya melalui isteri-isteri Nabi SAW, menjadi perantaranya demi meminta jawaban dan penjelasan dari Nabi SAW.     

Maka, dapat dipahami bahwa para periwayat hadis dari sahabat kaum wanita sudah ada sejak masa Nabi, namun jumlah mereka tidak sebanyak periwayat hadis dari sahabat kaum laki-laki.

Referensi: History of Hadith, Historiografi Hadis Nabi dari Masa ke Masa

Karya, Muhammad Abu Zahw

We use cookies to improve our website. Cookies used for the essential operation of this site have already been set. For more information visit our Cookie policy. I accept cookies from this site. Agree